BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat
kaum Muslimīn dewasa ini umumnya menghadapi kesenian
sebagai suatu masalah hingga timbul berbagai pertanyaan, bagaimana hukum tentang bidang yang satu ini, boleh, makrūh atau harām?
sebagai suatu masalah hingga timbul berbagai pertanyaan, bagaimana hukum tentang bidang yang satu ini, boleh, makrūh atau harām?
Di samping itu dalam praktek kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, mereka juga telah terlibat dengan masalah seni. Bahkan sekarang ini
bidang tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Seperti contoh yang telah terjadi di beberapa kota, banyaknya diskotik, dan tempat tongkrongan yang di penuhi oleh suara bising musik dan dipenuhi oleh muda-mudi yang mencari kesenangan dengan bernyanyi dan menari tanpa mempedulikan lagi hukum halāl-harām.
bidang tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Seperti contoh yang telah terjadi di beberapa kota, banyaknya diskotik, dan tempat tongkrongan yang di penuhi oleh suara bising musik dan dipenuhi oleh muda-mudi yang mencari kesenangan dengan bernyanyi dan menari tanpa mempedulikan lagi hukum halāl-harām.
Semua
keadaan yang kami tuturkan di atas terjadi dan berawal dari kejatuhan seni budaya dan peradaban Islam. Kita dapat menyaksikan sendiri, seni dan budaya kita telah digantikan dan tergeser(shifted ,moved,
removed) oleh seni budaya dan peradaban produk Barat yang nota-benenya(perhatiannya
) menekankan kehidupan yang bebas tanpa ikatan agama apapun.
Berangkat
dari hal ini saya ingin mencoba membahas sedikit permasalahan yang berkaitan
dengan seni dan tari dalam pandangan Islam. Mengingat Islam adalah agama yang syamil
dan mutakamil sehingga tidak ada yang diragukan didalamnya.
Namun,
Sebelum kita membahas tentang pandangan islam terhadap seni dan tari itu
sendiri kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu seni dan cabang seni itu
sendiri khususnya seni tari.
BAB II
ISI
2.1 Pengertian
seni
Secara
harfiah, seni merupakan bentuk dari karya manusia yang mengandung keindahan;
mengandung pesona karya dan rasa jika diamati dan dinikmati. Kemudian
memberikan kepuasan dan kesenangan pada setiap jiwa manusia dan seni adalah
keindahan yang memberikan kepuasan dalam kehidupan kita sehari-hari. Maka seni
dan kesenian adalah suatu jelmaan dari rasa keindahan yang wujud dari kerja
manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Disusun berdasarkan
pemikiran-pemikirannya sehingga ia menjadi suatu karya yang indah dan
menimbulkan kesenangan untuk dinikmati.
Secara
filsafat, kalau segala sesuatu yang baik dan buruk dapat dinilai dengan dimensi
etika, maka seni dan keindahan ini selalu dibahas dengan dimensi estetika yaitu
melalui penghayatan dan pengalaman-pengalaman indra manusia.
Dalam Ensiklopedi Indonesia
disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam
jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam
bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera
pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari,
drama)
Dilihat
dari ruh ajaran Islam dan kaedahnya Islam tidak melarang sesuatu yang baik,
indah dan kenikmatan yang diterima akal sehat. Sebagaimana dalam Surah
Al-Maidah ayat 4 "Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang dihalalkan
Allah, katakanlah dihalalkan kepadamu segala yang baik-baik". Seni
merupakan fitrah yang Allah ciptakan dalam diri manusia.
2.2 Seni
Musik
Adapun
seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan
alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik
membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan
studi bermacam-macam aliran musik.
Seni musik ini bentuknya
dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan
dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka,
adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni
vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui
perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik.
Seni vokal tersebut dapat
digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain)
atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan
sebagainya.
2.3
Pengarang Teori Musik dari Kalangan Kaum Muslimin.
Pada
waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah (wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum Muslimin banyak yang mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Hindia. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan penambahan,
penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat instrumen maupun
dengan sistem dan teknisnya.
Di
antara pengarang teori musik Islam yang terkenal ialah:
1. Yunus
bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah pengarang musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik Eropa banyak yang merujuk ke ahli musik ini.
2. Khalīl
bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku teori musik
mengenai not dan irama.
3. Ishāk
bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil memperbaiki musik ‘Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal adalah KITĀB-UL-ALHAN WAL-ANGHĀM (Buku Not dan Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan IMĀM-UL-MUGHANNIYĪN (Raja Penyanyi).
2.4 Kehidupan Masyarakat Islam pada Masa Rasulullah S.A.W.
Walaupun
demikian perlu juga diperhatikan, kehidupan masyarakat Islam di masa Rasūlullāh s.a.w. ditandai oleh dua karakteristik, yaitu (1). sederhana; (2). banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh. Membela Islam dan meluaskannya menghendaki seluruh pemikiran dan usaha sehingga tidak ada sisa waktu lagi untuk bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik, lagu) apalagi menikmatinya. Orang-orang Islam dengan lagu dan musik. Ini membuktikan bahwa masyarakat Islam di masa Rasūlullāh bukan tanah yang subur untuk kesenian. Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum Muslimīn berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian sehingga terbukalah mata mereka kepada kesenian suara baru dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi.
2.5
Pendidikan Musik di Negeri-Negeri Islam.
Selain
dari penyusunan kitāb musik yang dicurahkan pada akhir masa Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalīfah dan para pejabat lainnya memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik. (Lihat Prof. A.Hasmy, Sejarah kebudayaan Islam, hlm.320-321).
Banyak
sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah, baik
sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang
paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‘id ‘Abd-ul-Mu’mīn
(wafat tahun 1294 M.).
Salah
satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbāsiyyah didirikan banyak sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di istana dan di rumah pejabat negara atau pun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’
/ at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian
mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan.
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan
Nyanyian:
a.
Berdasarkan firman Allah:
“Dan di antara manusia ada
orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs.
Luqmân [31]: 6)
b.
Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di
kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat
musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari,
hadits no. 5590].
c.
Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah
mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya,
mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di
atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
e.
Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah
SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan
memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR.
Ibnu Abid Dunya.].
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan
Nyanyian:
a.
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu
dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b.
Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta
perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu
mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka
menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba
salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang
mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu.
Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth
al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
c.
Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar.
Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan
permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
Dari sini kita dapat memahami
bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram
didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang
disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul),
perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai
khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau
syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung
pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan
sebagainya.
Nyanyian halal didasarkan pada
dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih
dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji
sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari
judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan
semisalnya.[1]
3.2 Hukum Mendengarkan
Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat
disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara
melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’
al-ghina’).
Sekedar mendengarkan nyanyian
adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan
jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu
mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan.[2]
3.3 Hukum Mendengar
Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Mendengar nyanyian (sama’
al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut
hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’,
adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi
dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum,
berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi b. Hukum
Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’).
Jika seseorang mendengarkan
nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama
sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu
boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar
nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah
nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat)
karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu
adalah haram.[3]
3.4 Hukum Memainkan Alat
Musik
ada satu jenis alat musik yang
dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal,
atau rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan
tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] [4]
Adapun selain alat musik ad-duff
/ al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada
pula yang menghalalkan. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz
VI, hal. 59 mengatakan:
“Jika belum ada perincian dari
Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini
[dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah
terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” [5]
Kesimpulannya, memainkan alat
musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil
tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah
haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya,
yaitu mubah.[6]
3.5 Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara
Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik
(atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di
panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan
mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada
tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan
atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat,
atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram. Jika tidak terdapat unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah[7]
3.6 Pedoman Umum Nyanyian
Dan Musik Islami
Pedoman ini disusun atas di
prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4
(empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah
nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan
menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus
kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi
sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi,
menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa
sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh
bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan
sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian.
Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan
sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan
syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan
transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai
pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian
dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen
atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati
kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi
pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk
membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh
bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan
sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang
digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat,
hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut
keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar
(menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan
ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan
menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan
yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak
bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak
pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya,
al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan
kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut
syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan
dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan
(waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara,
mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita
waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain
(baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan
terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
BAB IV
PENUTUP
Penulis sadari bahwa permasalahan
yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian
pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan
musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Tentu saja tulisan ini terlalu
sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif
sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.Semua ini mudah-mudahan dapat
memberikan manfaat bagi kita semua walau pun cuma secuil.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf
An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
Ø Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ?
(Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi.
Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
Ø Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum
Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta :
Penerbit Widjaya).
Ø Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam.
Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
Ø Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi
Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih
Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar