BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Istilah
bioteknologi pertama
kali dikemukakan oleh Karl Erekty, seorang insinyur Hongaria pada tahun
1917 untuk mendeskripsikan produksi babi dalam skla besar dengan menggunakan
bit gula sebagai sumber pakan. Pada perkembangannya sampai pada tahun 1970
bioteknologi selalu berasosiasi dengan rekayasa biokimia (biochemical
engineering).
Definisi bioteknologi apabila dapat dilihat dari akar
katanya berasal dari “bio” dan “teknologi” maka kalu digabung
pengertiannya adalah penggunaan organism atau system hidup untuk memecahkan
suatu masalah atau untuk menghasilkan produk yang berguna.
Pada tahun 1981, Federasi Bioteknologi Eropa mendefinisikan
bioteknologi sebagai berikut, bioteknologi adalah aplikasi terpadu biokimia, mikrobiologi,
dan rekayasa kimia dengan tujuan untuk mendapatkan aplikasi teknologi dengan
kapasitas biakan mikroba, sel, atau jaringan di bidang industri, kesehatan, dan
pertanian. Sedangkan menurut Sardjoko (1991), bioteknologi didefinisikan
sebagai proses-proses biologi oleh mikroorganisme yang dimanfaatkan oleh
manusia dan untuk kepentingan manusia.
1.2. Rumusan
Masalah
·
Bagaimana
manfaat perkembangan bioteknologi sandang bagi kehidupan sehari-hari?
·
Bagaimana
dampak negatif bioteknologi sandang bagi kehidupan sehari-hari?
1.3. Tujuan
·
Untuk
mengetahui manfaat dan kerugian bioteknologi sandang bagi kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
BIOTEKNOLOGI SANDANG
Bioteknologi sandang adalah
teknologi yang memanfaatkan ilmu biologi yang digunakan untuk menciptakan
terobosan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Bioteknologi sandang
melibatkan agen biologi yang berupa tanaman penghasil bahan sandang. Teknologi
yang dikembangkan adalah rekayasa genetika (teknologi) plasmid. Hasil yang
diinginkan berupa tanaman transgenik yang tahan terhadap hama penyakit sehingga
dapat mengoptimalkan produktivitasnya.
Kapas BT adalah istilah untuk
tanaman kapas transgenik yang tahan terhadap serangan tertentu, BT singkatan
dari “Bacillus
Thuringiensis” merupakan bakteri tanah yang dapat membunuh serangga
tertentu. Bakteri BT dapat menghasilkan Kristal paraspora (protein cry).
Protein cry tidak beracun karena masih berupa paratoksin (senyawa awal yang
membutuhkan proses biokimia untuk menjadi toksin). Protein cry akan menjadi
toksin apabila pada saat kondisi alkali dan mengandung protease pada usus
serangga. Apabila menjadi toksin maka usus akan bocor, sehingga serangga
menjadi malas makan dan mati, serangga dapat menjadi pembentukan toksin dan
peka terhadap toksin. Kelompok yang peka terhadap toksin adalah kelompok “Lepidoptera dan Coleoptera”.
Ulat
buah (Helicoverpa armigera) merupakan musuh utama tanaman kapas Indonesia
padahal kapas merupakan bahan mentah industri tekstil di Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan sandang. Ulat ini akan memakan buah kapas yang masih muda
sehingga berlubang. seiring pertumbuhannya, ulat ini akan membuat kapas dewasa
akan kehilangan serat (karena terpotong-potong). Sehingga, perlu melakukan
upaya untuk mematikan hama ulat pada tanaman kapas tanpa mencemari lingkungan,
maka ditemukanlah upaya memotong gen protein cry dari bakteri Bt yang telah disatukan
dengan gen kapas. Kapas yang mengandung protein cry inilah yang disebut kapas
Bt. Protein cry menyebar keseluruh bagian tanaman terutama bagian daun dan
bunga yang menyebabkan ulat mati.
MANFAAT BIOTEKNOLOGI SANDANG
·
Dibidang pertanian dan peternakan yaitu
mampu menciptakan bibit-bibit unggul yang akan memberikan produk bermutu tinggi
secara kualitas dan kuantitas , meningkatnya sifat resistensi tanaman terhadap
hama dan penyakit tanaman, misalnya tanaman transgenik kebal hama, Mengatasi terbatasnya
lahan pertanian , Mengatasi produksi bibit yang sama dalam jangka waktu singkat
, Mengendalikan serangga perusak tanaman budidaya.
·
Di bidang industri, mampu menciptakan
pemberantas hama secara biologis (Bacillus thuringensis) dan tanaman tahan hama
dalam tubuhnya disisipi gen bakteri (tanaman transgenik).
KERUGIAN BIOTEKNOLOGI SANDANG
·
Pelepasan organisme transgenik ke alam
dapat keseimbangan alam dan kelestarian organisme.
·
Pencemaran biologi, karena apabila
makhluk hidup transgenik lepas ke alam bebas dan kawin dengan makhluk normal
dapat menghasilkan keturunan yang mutan.
·
Penyalahgunaan hak pribadi, karena
dengan rekayasa genetika perubahan genotip tidak dirancang secara alami sesuai
dengan kebutuhan, melainkan menurut kebutuhan pelaku bioteknologi itu sendiri.
Hal ini dapat menimbulkan peluang bahaya bagi kelestarian lingkungan hidup.
PROSES PENYISIHAN PROTEIN CRY
KEDALAM GEN KAPAS

Bacillus thuringiensis

Spora
dan Kristal Bacillus thuringiensis morrisoni
strain
T08025
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan : Eubacteria
Filum
: Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Family : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies
: Thuringiensis
Nama binomial
Bacillus thuringiensis
Berliner
1915
Bacillus
thuringiensis adalah bakteri gram-positif, berbentuk
batang, yang tersebar secara luas di berbagai Negara. Bakteri ini termasuk pathogen
fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman conifer maupun pada tanah.
Apabila kondisi lingkungan tidak memungkinkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi.
Saat sporulasi terjadi, tubuhnya akan terdiri dari protein Cry yang termasuk
kedalam protein Kristal kelas endotoksin delta. Apabila serangga memakan toksin
tersebut maka serangga tersebut akan mati. Oleh karena itu, protein atau toksin
Cry dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami.
Sejarah
Bacillus thuringiensis ditemukan
pertama kali pada tahun 1911 sebagai patogen pada ngengat (flour moth) dari Provinsi Thuringia, Jerman. Bakteri ini digunakan sebagai
produk insektisida komersial pertama
kali pada tahun 1938 di Perancis dan kemudian di Amerika Serikat (1950). Pada tahun 1960an, produk tersebut telah digantikan
dengan galur bakteri yang lebih patogen dan
efektif melawan berbagai jenis insekta. Keberadaan inklusi para spora
dalam B. thuringiensis telah
ditemukan sejak tahun 1915, namun komposisi protein penyusunnya baru diketahui
pada tahun 1915. Pada tahun1953, Hannay, mendeteksi struktur kristal pada
inklusi para spora yang mengandunglebih dari satu macam protein kristal
insektisida (insecticidal crystal protein, ICP) atau disebut juga delta endotoksin. Berdasarkan komposisi
ICP penyusunnya, kristal tersebut dapat membentuk bipimiramida, kuboid,
romdoid datar, atau campuran dari beberapa tipe Kristal.
Habitat
Berbagai macam
spesies B.
thuringiensis
telah diisolasi dari serangga golongan koleoptera,
diptera, dan lepidoptera, baik yang
sudah mati ataupun dalam kondisi sekarat. Bangkai serangga sering mengandung spora dan ICP B.
thuringiensis dalam jumlah besar. Sebagian sub spesies juga
didapatkan dari tanah, permukaan daun, dan habitat lainnya. Pada lingkungan dengan
kondisi yang baik dan nutrisi yang cukup, spora bakteri ini dapat
terus hidup dan melanjutkan pertumbuhan vegetatifnya.
B.thuringiensis dapat ditemukan pada berbagai jenis
tanaman, termasuk sayuran, kapas, tembakau, dan tanaman
hutan.
Toksin Bt

Struktur
tiga dimensi dari toksin Bt
Protein
atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi
pemecahaan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan
menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian
kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya.
Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu
minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna
hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk.
Toksin Cry sebenarnya merupakan
protoksin, yang harus diaktifkan terlebih dahulusebelum memberikan efek
negatif. Aktivasi toksin Cry dilakukan oleh protease usussehingga terbentuk
toksin aktif dengan bobot 60 kDA yang disebut delta-endotoksin.Delta-endotoksin
ini diketahui terdiri dari tiga domain. Toksin tersebut tidak larut padakondisi normal sehingga tidak membahayakan manusia,
hewan tingkat tinggi, dansebagian insekta. Namun. pada kondisi pH tinggi
(basa) seperti yang ditemui di dalamusus lepidoptera, yaitu di atas 9.5, toksin
tersebut akan aktif. Selanjutnya, toksin Cry akan menyebabkan lisis (pemecahan) usus lepidoptera.
B. thuringiensis dapat memproduksi dua
jenis toksin, yaitu toksin kristal (Crystal, Cry) dan toksin
sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat memperkuat toksin Cry
sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas dalam mengontrol
insekta. Lebihdari 50 gen penyandi toksin Cry telah disekuens dan digunakan
sebagai dasar untuk pengelompokkan gen berdasarkan kesamaan sekuens
penyusunnya. Tabel di bawah inimerupakan
klasifikasi toksin Bt pada tahun 1995.
Gen
|
Bentuk Kristal
|
Bobot Protein
(kDa)
|
Insekta Yang
Dipengaruhi
|
Cry I [several subgrup: A(a), A(b),
A(c), B, C, D, E, F, G]
|
Bipiramida
|
130-138
|
Larva Lepidoptera
|
Cry II [subgrup A, B, C]
|
Kuboid
|
69-71
|
Lepidoptera and diptera
|
Cry III [subgrup A, B, C]
|
Datar/tidak teratur
|
73-74
|
Koleoptera
|
Cry IV [subgrup A, B, C, D]
|
Bipiramida
|
73-134
|
Diptera
|
Cry V-IX
|
Berbagai macam
|
35-129
|
Berbagai macam
|

Larvasida, produk untuk membunuh
larva nyamuk yang terbuat dari kompleks protein B. thuringiensis israelensis.
Menurut laporan
WHO pada tahun 1999, sebanyak
13.000 ton produk B. thuringiensis diproduksi
setiap tahunnya melalui teknologi fermentasi aerobik.
Sebagian besar produk
tersebut yang mengandung ICP dan spora hidup, sedangkan sebagian lainnya mengandung spora yang telah diinaktivasi.
Produk B. thuringiensis konvensional
hanya dibuat untuk mengatasi hama lepidoptera yang menyerang tanaman pertanian dan perhutanan. Namun,
sekarang ini, banyak galur B. thuringiensis yang diproduksi untuk mengatasi golongan koleoptera
dan diptera (perantara penyakit yang diakibatkan parasit dan virus). B. thuringiensis komersil
juga telah diformulasikan sebagai insektisida untuk dedaunan, tanah, lingkungan perairan, dan fasilitas penyimpanan
makanan. Contoh penggunaan B. thuringiensis pada lingkungan perairan adalah mengontrol nyamuk, lalat, dan larva serangga pengganggu lain
pada waduk penampung air minum. Setelah diaplikasikan
kesuatu ekosistem tertentu, sel vegetatif dan spora
akan bertahan pada lingkungan sebagai komponen alami mikroflora dalam
hitungan minggu, bulan, atau tahunan dan
perlahan-lahan akan berkurang jumlahnya. Namun, ICP secara biologis
akan inaktif dalam hitungan jam atau hari.
Aplikasi produk
B. thuringiensis dapat menyebabkan pekerja lapangan
terpapar secara aerosol ataupun melalui
kontak dermal, serta mengkontaminasi makanan dan minuman pada lahan
pertanian. Namun, menurut hingga tahun 1999, belum ada laporan yang menunjukkan efek parah dari kontaminasi B.
thuringiensis pada manusia, kecuali terjadinya iritasi mata dan kulit. Namun,
sel vegetatif B.
thuringiensis
berpotensi memproduksi racun yang mirip
dengan yang dihasilkan oleh Bacillus cereus dan belum diketahui apakah dapat
menyebabkan penyakit manusia atau tidak. Penggunaan produk B. thuringiensis juga diketahui menimbulkan
resitensi pada sebagian insekta, seperti Plodia interpunctella, Cadra cautella, Leptinotarsa decemlineata, Chrysomela scripta, Spodoptera littoralis, Spodoptera exigua, sehingga penggunaan
produk tersebut bertujuan agar pengendalian hama harus
lebih diperhatikan.

Rami
atau haramai (Boehmeria nivea) berbeda dengan kenaf (Hibiscus cannabinus), dan
yute (Corchorus olitorius dan Corchorus capsularis). Meskipun tiga tanaman ini sama - sama penghasil serat nabati untuk berbagai
keperluan. Serat rami, digunakan untuk bahan kain. Sementara kenaf dan
yute untuk tali atau karung goni. Sebab serat kenaf dan yute relatif lebih kaku
dan kasar dibanding dengan rami. Ada dua kain yang berasal dari serat
rami. Apabila serat rami diproses pertama yang disebut dekortikasi, maka serat
yang dihasilkan bernama china grass (rumput china). Apabila china grass dipintal
dan ditenun, akan dihasilkan kain lenan. Kain lenan berwarna cokelat khaki yang
merupakan warna asli dari serat rami. Apabila china grass diproses lebih lanjut
(proses II) yang disebut degumming, maka serat yang dihasilkan akan menjadi
putih dan halus yang disebut sebagai rami top (rami super). Serat rami top
lebih putih dan lebih halus dari serat kapas. Kalau serat ini dipintal dan
ditenun, maka kain yang dihasilkan adalah
kain satin yang halus. India merupakan penghasil serat rami terkemuka di dunia.
Hingga tingkat ketergantungannya pada
serat kapas menjadi kecil sekali. Berbeda dengan Indonesia yang meskipun
merupakan negara penghasil tekstil terkemuka didunia, namun kapasnya harus
diimpor dari AS dan Kazakstan. Sebab kapas memang tidak mungkin ditanam dengan
hasil sempurna di kawasan tropis yang
panjang harinya maksimal hanya 12 jam.

Kapas
menghendaki panjang hari sampai 17 jam dimusim panas untuk memperoleh hasil
serat yang optimal. Sebagai kawasan tropis, Indonesia mestinya memang harus
mengandalkan kebutuhan seratnya dari rami bukan dari kapas. Tetapi mesin-mesin
pemintalan dan tekstil yang ada di Indonesia, saat ini sudah dirancang untuk
memintal dan menenun kapas bukan untuk mengerjakan serat rami. Industry tekstil
yang dibangun diIndonesia, modalnya juga dari World Bank dan bantuan-bantuan
(pinjaman) dari negeri penghasil kapas didunia. Karenanya tingkat
ketergantungan kita pada kapas menjadi tinggi sekali. Lain halnya dengan india
yang sangat jeli karena dikawasan sub tropisnya mereka mengembangkan kapas,
sementara dikawasan tropis mereka menanam rami.
RRC
merupakan penghasil kapas terbesar didunia, tetapi akhir tahun 1990an masih
terpaksa impor, karena jumlah penduduknya yang diatas 1 milyar jiwa. Menyadari
hal ini, sekarang mereka mulai mengembangkan rami dikawasan selatan yang
relative masih beriklim tropis. Beberapa waktu yang lalu Monsanto melakukan uji
coba kapas transgenik di Seulsel. LSM Indonesia pun heboh dan memprotes
kegiatan tersebut.
Petani
merasa dikubuli oleh Monsanto sebab hasil kapas yang diharapkan beberapa
kalilipat ternyata jeblok. Padahal kata Monsanto, kapas transgenik ini telah
dikembangkan di RRC dengan hasil sangat bagus. Sebenarnya kegiatan memasukkan
kapas transgenik ke Indonesia ini hanyalah merupakan upaya “mengalihkan”
perhatian masyarakat dan juga LSM dari komoditas rami. Disinilah letak
kebodohan aktivis LSM Indonesia. Transgenik memang sedang menjadi isu
internasional. Teknologi ini merupakan hasil rekayasa genetika yang dilakukan
oleh (terutama) para ahli pertanian AS. Kedalam gen kedelai, kacang tanah dan
jagung misalnya, disusupkan gen bakteri, yang mengakibatkan sel-sel tanaman
tersebut menggelembung, untuk mempertahankan diri dari desakan gen bakteri yang
disusupkan kedalamnya. Akibatnya biji kedelai, kacang tanah dan jagung pun ikut
pula menggelembung jadi sangat besar. Mereka melakukan hal ini dengan enteng
sebab kedelai, kacang tanah dan jagung adalah bahan utama pakan ternak. Bukan
untuk dijadikan tempe sebagai pakan manusia seperti dinegeri kita. Yang lebih
sadis lagi, mereka juga menyusupkan gen manusia pada ternak sapi perah. Sebab
selama ini ada keluhan dari konsumen bahwa sebaik-baiknya susu sapi, masih
lebih baik air susu ibu. Maka dengan menyusupkan gen manusia kedalam gen sapi
perah, para ahli berharap bahwa susu sapi yang dihasilkan akan sama dengan air
susu ibu. Masyarakaat Ekonomi Eropa (MEE) menolak keras atas upaya transgenic
ini. Isu inilah yang dimanfaatkan oleh konglomerasi agroindustri kapas dunia
untuk membodohi LSM Indonesia, dan ternyata LSM kita telah terpancing. Sebab
yang menjadi permaslahan pada kapas, bukan soal transgenik atau bukan. Indonesia
memang tidak mungkin menanam kapas karena panjang harinya hanya 12 jam.
Meskipun Monsanto telah mengatakan bahwa kapas transgenic ini telah melalui uji
coba di RRC, namun justru hal itu lebih menunjukan kebodohan kita. RRC adalah
Negara sub tropis yang panjang harinya memang bisa 17 jam. Indonesia lebih pas
mengembangkan ramiuntuk andalan bahan baku industry tekstil. Tetapi niat
demikian niscaya akan ditentang oleh para pelaku bisnis kapas di AS. Sebab
dengan demikian maka pangsa pasar mereka akan tertinggi. Indonesia
sebagai negara dengan jumlah
penduduk terbesar nomor empat di dunia (setelah RRC, India,
dan AS) tentu sangat potensial diperlukan sebagai buruh pada industry tekstil.
Kita harus ingat bahwa sebagian dari industry tekstil kita ditandai dari pinjaman
asing termasuk paling besar dari World Bank.
Semua itu merupakan serangkaian
upaya guna mengamankan bisnis kapas di negeriAS. Kalau tiba-tiba kita ingin
mengembangkan rami, pasti World Bank dan IMF tidak akan bersedia untuk
mendanai. Bahkan jauh-jauh hari, pabrik pemintalan dan pabrik tekstil di
Indonesia telah menolak segala usulan untuk mengembangkan rami. Dengan alas an
bahwa mesin-mesin mereka sejak awal telah dirancang khusus untuk menangani
kapas bukan rami, tetapi inilah salah satu indikasi bahwa kita memang telah
benar-benar dicengkeram oleh kapitalis dunia yang menangani bisnis kapas.
Selain lebih cocok dengan agroklimat kawasan tropis, rami juga memiliki sifat
sangat bandel. Tahan ditanam dilahan tandus, tahan hama serta penyakit dan
daunnya bisa untuk pakan ternak Rami juga bisa ditanam secara tumpang sari
dibawah tegakan albisia, jati, dan tanaman keras lainnya. Tanaman rami berupa
perdu setinggi antara 1,5 - 2,5 meter. Batangnya sebesar kelingking, berkayu
namun berongga dibagian dalamnya, daunnya mirip dengan bentuk daun murbei dan
berbulu. Tanaman rami menumbuhkan rizome, yakni batang didalam tanah yang lazim
pula disebut sebagai akar tinggal. Dari rizome ini akan tumbuh individu tanaman
baru hingga pengembangbiakan rami yang paling tepat dilakukan dengan rizomenya.
Bukan melalui stek batang, meskipun hal ini juga bisa dilakukan. Tanaman rami
mulai menghasilkan rizome pada umur 3 bulan semenjak tanam, selanjutnya pada
umur 6 bulan pertama seratnya sudah bisa dipanen, panen berikutnya bisa dilakukan
selang 3 bulan sekali dengan catatan pengairannya cukup baik. Dengan kondisi
pengairan yang cukup baik, dalam setahun satu rumpun tanaman rami bisa dipanen
sampai 4 kali. Namun kalau pengairan hanya mengandalkan curah hujan, maka rami
hanya bisa dipanen 2 kali dalam setahun. Tanaman ini bisa tumbuh baik mulai
dari dataran rendah (0 m, dpl – 1.500 m, dpl). Tetapi pada ketinggian 1.000 m,
dpl umur panennya akan semakin panjang. Tempat tumbuh ideal bagi tanaman rami
adalah dataran menengah dengan ketinggian antara 300 – 700 m, dpl di lokasi ini
pertumbuhan rami akan mengalami titik optimal.
Serat rami
diambil dari batang, cara pengambilannya dengan memotong pangkal batang, membuang pucuk serta
daunnya (untuk pakan ternak) serta mengelupas kulitnya. Kayu rami yang telah
dikuliti bisa dijemur untuk kayu bakar dalam proses dekortikasi (perebusan kulit). Tiap hektar lahan yang ditanami rami
secara monokultur, akan menghasilkan serat basah sebanyak 5 ton sekali panen. Hingga
dengan pengairan yang baik, tiap hektar lahan dalam setahun akan dapat
menghasilkan serat basah sampai 20 ton, harga sserat basah ini Rp. 1.000/kg,
sampai ke lokasi prosesing serat basah ini mengalami proses perebusan yang
disebut dekortikasi, akan menjadi serat rami atau china grass. Disebut demikian
karena di zaman RRC dibawah kekuasaan Mao, maka china grass inilah bahan baku
utama pakaian rakyat RRC.
Dari 5 ton
serat basah, akan dihasilkan 2,5 ton china grass kering. Harga china grass
meningkat menjadi Rp. 4.000,-/kg. selanjutnya china grass bisa langsung
dipintal dan ditenun menjadi kain lenan atau diproses lebih lanjut melalui
degumming (penghilang getah) menjadi rami top atau kapas rami. Dari 2,5 ton
china grass, akan dihasilkan hanya 1 ton rami top. Tetapi harga rami top ini
mencapai Rp. 15.000,-/kg. hingga dari 1 hektar kebun rami berpengairan baik,
tiap tahunnya akan dapat dihasilkan 4 ton rami top dengan nilai Rp.
60.000.000,- semua proses dari pengulitan (mengahasilkan kulit basah),
dekortikasi (menghasilkan china grass) sampai ke degumming (menghasilkan rami top), bisa dikerjakan oleh
para petani sendiri. hingga agribisnis rami merupakan kegiatan yang sangat
padat karya. Tiap hektar lahan yang akan ditanami rami secara monokultur,
memerlukan 40.000 bibit rizome. Harga bibit rizome saat ini sekitar Rp 250.000,- (ambil)
atau sekitar Rp300,- (pranko kebun). Hingga
dalam tiap hektar kebun rami diperlukan biaya pembelian bibit Rp
12.000.000,- Namun dalam waktu 3 bulan, areal ini akan menghasilkan bibit minimal 80.000 rizome (per rumpun menghasilkan 2
rizome). Hingga selang tiga bulan semenjak tanam, petani sudah bisa
mengembangkan bibit sendiri untuk perluasan areal tanam. Sebenarnya,
pengembangan rami bisa berlanjut ke pemintalan dan penenunan dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), dan
dilanjutkan ke pembatikan. Sebab, nilai tambah yang akan didapat oleh para petani akan semakin tinggi, sementara tingkat
ketergantungan perajin tenun dan
batik pada kapas impor juga bisa teratasi.
Kawasan yang potensial untuk
pengembangan tanaman rami antara lain Riau, Jambi, Sulsel, Kalimantan (seluruhnya) dan beberapa kawasan lain yang bertanah
basah. Tetapi, penanaman rami di areal pasang surut, harus menggunakan
teknologi tabukan atau sistem surjan. Sebab
meskipun rami tidak tahan kekeringan, sekaligus dia juga peka
genangan. LSM Indonesia, mestinya agak kritis dalam menanggapi isu yang dilempar
oleh kaum Kapitalis. Ketika LSM kita tersebut hiruk pikuk menentang kapas transgenik,
sebenarnya kaum kapitalis tertawa. Sebab dengan perilaku tersebut, sebenarnya LSM kita telah menari - nari mengikuti
genderang yang ditabuh oleh konglomerat dunia dengan bisnis utama kapas.
Mestinya LSM kita harus lebih banyak belajar dari India. Diam - diam
mereka menanam rami dan sekaligus memintal serta menenunnya dengan mesin - mesin
sederhana yang mereka ciptakan serta mereka rakit sendiri. Itulah satu - satunya
cara untuk melawan dominasi kapas yang dihasilkan oleh para petani dari
Texas, Amerika Serikat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bioteknologi
sandang ialah teknologi yang memanfaatkan ilmu biologi yang digunakan untuk
menciptakan terobosan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia, dan
bioteknologi sandang melibatkan agen biologi yang berupa tanaman penghasil
bahan sandang. Reaksi yang dikembangkan adaah rekayasa genetika (teknologi)
plasmid dan menginginkan hasil yang berupa tanaman transgenic yang tahan
terhadap hama pengakit sehingga dapat mengoptimalkan produktifitasnya.
Bt (Bacillus thuringiensis) adalah
bakteri gram-positif, berbentuk batang, yang tersebar secara luas di berbagai
Negara. Bakteri ini termasuk pathogen fakultatif dan dapat hidup di daun
tanaman conifer maupun pada tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak
memungkinkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi.
Saran
Dalam menerapkan bioteknologi, kita sebagai manusia yang memiliki naluri
seyogiannya dapat menerapkannya sesuai dengan norma-norma agar dampak negative
dari penerapan bioteknologi dapat kita netralisir. Semoga dengan adanya makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca mengenai bioteknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar