Minggu, 14 September 2014

KEWAJIBAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA



Penulis : Wurianalya Maria Novenanty, S.H., LL.M.
Dosen Fakultas Hukum UNPAR

Akibat hukum apabila perjanjian tidak memenuhi kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia
Undang-Undang No.24 Tahun 2009 mengenai Bendera, Bahasa, Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (untuk selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang No.24 Tahun 2009) diundangkan pada tanggal 9 Juli 2009, namun hingga saat ini belum ada peraturan presiden maupun peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih lanjut mengenai Undang-Undang tersebut. Adapun pengaturan mengenai Bendera, Bahasa, Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan ini bertujuan untuk :
  1. memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ;
  2. menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ; dan
  3. menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.
Salah satu hal yang diatur dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2009 ini adalah masalah bahasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada era globalisasi ini, bahasa asing khususnya Bahasa Inggris sering digunakan dalam masyarakat terutama dalam dunia bisnis karena <em>counterparty </em>adalah pihak asing. Perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan bisnis (<em>private commercial agreements</em>) banyak yang hanya menggunakan Bahasa Inggris. Oleh karena itu pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang ini berusaha untuk melestarikan Bahasa Indonesia dan meningkatkan penggunaannya di dalam segala bidang.
Dalam kaitannya dengan hukum, Pasal 31 Undang – Undang No.24 Tahun 2009 memiliki pengaruh dalam hukum Perjanjian di Indonesia. Pasal 31 tersebut mengatur sebagai berikut :
  1. Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
  2. Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau Bahasa Inggris.
Dapat disimpulkan bahwa Pasal 31 Undang-Undang No.24 Tahun 2009 mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia di dalam Perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Apabila perjanjian tersebut melibatkan pihak asing wajib ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau Bahasa Inggris. Sebelum Undang-Undang No.24 Tahun 2009 ini ditetapkan, pada prakteknya banyak perjanjian yang dibuat hanya dalam Bahasa Inggris terutama untuk perjanjian-perjanjian komersial dengan pihak asing dalam dunia bisnis. Tidak lama setelah Undang-Undang ditetapkan, muncul perdebatan mengenai Pasal 31 yang mewajibkan perjanjian yang melibatkan pihak asing wajib dibuat bilingual (dalam dua bahasa) sehingga muncul pertanyaan, apakah akibat hukum apabila perjanjian tidak menggunakan Bahasa Indonesia? Bukankah selama syarat sahnya perjanjian telah terpenuhi, maka bahasa sebenarnya bukan merupakan masalah ?
Kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia di dalam hukum perjanjian ini pun telah terakomodir di dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
”Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Dari pasal 1339 tersebut dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen dari perjanjian adalah :
  1. Isi perjanjian itu sendiri
  2. Kepatutan
  3. Kebiasaan
  4. Undang-Undang
Dalam praktek peradilan ternyata kemudian bahwa urutan-urutan sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengalami perubahan dimana peradilan menyimpulkannya dari apa yang diatur oleh Pasal 3 A.B. Pasal itu menentukan bahwa kebiasaan hanya diakui sebagai sumber hukum, apabila ditunjuk oleh undang-undang. Dengan dasar itu peradilan menempatkan undang-undang di atas kebiasaan, di dalam kenyataannya urutan-urutan isi Perjanjian itu lalu menjadi :
  1. Hal-hal yang tegas diperjanjikan;
  2. Undang-Undang;
  3. Kebiasaan;
  4. Kepatutan.
Kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia oleh lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia di dalam Perjanjian diatur di dalam Pasal 31 Undang-Undang No.24 Tahun 2009. Berdasarkan pasal 1339 Kitab-Kitab Undang Hukum Perdata, salah satu elemen perjanjian adalah undang-undang, maka dapat disimpulkan bahwa menurut hukum perjanjian, perjanjian yang dibuat oleh pihak yang disebutkan di atas wajib menggunakan Bahasa Indonesia.
Di dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tidak diatur mengenai sanksi apabila ketentuan Pasal 31 dilanggar. Adapun Pasal 40 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden, kemudian Pasal 73 menyebutkan bahwa peraturan pelaksana yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang tersebut diselesaikan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan pada tanggal 9 Juli 2009. Namun belum diketahui apakah peraturan presiden dan peraturan pelaksana tersebut akan mengatur mengenai sanksi pelanggaran penggunaan Bahasa Indonesia di dalam Perjanjian. Dengan tidak adanya sanksi atas pelanggaran Pasal 31 tersebut, maka tidak ada unsur pemaksa untuk pelaksanaannya.
Pasal 31 Undang-Undang tersebut menerapkan suatu aturan untuk perjanjian, oleh karena itu, untuk menemukan jawaban akibat hukum tidak dipenuhinya pasal tersebut harus dikaitkan dengan hukum perjanjian yang saat ini berlaku. Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat sahnya perjanjian adalah :
  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan
  3. suatu hal tertentu
  4. suatu sebab yang halal
Dalam hal suatu perjanjian dibuat tidak memenuhi syarat subyektif (unsur 1 dan 2) di atas, maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif (unsur 3 dan 4), maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.
Perbedaan antara dapat dibatalkan dan batal demi hukum adalah dalam hal ”dapat dibatalkan”, perbuatan hukum yang bersangkutan harus dianggap absah selama belum ada ketentuan dari hakim bahwa perbuatan hukum itu batal. Sedangkan dalam, dari semula tidak diperbolehkan orang mendasarkan perbuatan hukum atas suatu perbuatan hukum yang dalam batal demi hukum dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa tidak dipenuhinya kewajiban untuk menggunakan Bahasa Indonesia di dalam Perjanjian, maka akibat hukumnya adalah perjanjian batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat obyektif perjanjian yaitu sebab yang halal. Pendapat tersebut menggunakan dasar hukum Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa : ”Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”.  Jadi pendapat tersebut menganggap suatu perjanjian yang tidak memenuhi kewajiban untuk menggunakan Bahasa Indonesia adalah perjanjian dengan causa yang terlarang karena dilarang oleh undang-undang.
Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan akibat hukum tidak dipenuhinya kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia. Pasal tersebut mengatur mengenai causa yang terlarang, pengertian causa dijelaskan oleh pendapat-pendapat sebagai berikut :
  1. Menurut Subekti, yang dimaksudkan sebagai ”sebab” atau ”causa” adalah tujuan yaitu apa yang dimaksudkan oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian. Misalnya dalam hal suatu perjanjian jual beli : satu pihak akan mendapat suatu barang dan pihak lainnya akan mendapatkan harganya, dalam hal suatu perjanjian pinjaman uang : satu pihak akan menerima sejumlah uang tunai dan pihak lainnya akan menerima bumga. Dengan perkataan lain ”causa” adalah isinya perjanjian itu sendiri.
  2. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, sebab yang halal dalam Pasal 1320 jo.Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak lain dan tidak bukan adalah prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan yang wajib dilakukan atau dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para pihak.
Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan oorzak / sebab sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Contoh A menjual sepeda motor kepada B, tetapi sepeda motor yang dijual oleh A itu adalah barang hasil curian. Jual beli itu tidak mencapai tujuan dari pihak B karena menginginkan barang yang dibelinya itu barang  yang sah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia tidak tepat apabila dihubungkan dengan causa/sebab. Causa/sebab adalah isi dari perjanjian itu sendiri, bukan difokuskan pada bahasanya karena sebenarnya bahasa merupakan media untuk menyampaikan maksud para pihak.
Kemudian muncul pula pendapat bahwa bisa menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut pembatalan perjanjian lantaran tidak ada perjanjian berbahasa Indonesia. Pembatalan dapat diajukan dengan dasar kesepakatan perjanjian diberikan karena kekhilafan lantaran tidak paham isi kontrak. Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur sebagai berikut :
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan”.
“Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”.
Pada intinya kekhilafan yang menyebabkan cacat kehendak adalah terbatas pada kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan dan kekhilafan mengenai orangnya. Contoh kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan adalah seseorang ingin membeli tas Louis Vitton yang asli, tetapi yang ternyata tas yang ia peroleh adalah tas yang palsu. Contoh kekhilafan mengenai orangnya adalah seseorang yang ingin menyewa grup band terkenal ’Gigi” tetapi ternyata yang datang adalah grup band Gigi yang lain, namun ternyata namanya sama.
Apakah akibat hukum tidak dipenuhinya kewajiban untuk menggunakan Bahasa Indonesia di dalam Perjanjian ? Perjanjian yang demikian tidak dapat langsung diputuskan batal demi hukum kecuali apabila perjanjian tersebut jelas-jelas tidak memenuhi syarat obyektif suatu Perjanjian atau dapat dibatalkan kecuali jelas tidak memenuhi syarat subyektif. Perjanjian dalam lapangan hukum privat hanya melibatkan para pihak sehingga khalayak tidak mengetahui apakah perjanjian tersebut sudah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian ataukah sudah sesuai dengan Undang-Undang. Hal-hal yang demikian dapat diketahui apabila adanya sengketa dan dimajukan ke depan hakim, termasuk persoalan bahasa ini belum ada konsekuensi hukumnya berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini, hanya diwajibkan namun tanpa sanksi. Oleh karena itu, akibat hukum tidak dipenuhinya kewajiban ini ada di tangan hakim yang akan memutuskan apabila ada permohonan pembatalan perjanjian dengan alasan tidak dipenuhinya kewajiban untuk menggunakan Bahasa Indonesia, apakah akibat hukumnya adalah dapat dibatalkan atau bisa saja hanya dipersyaratkan untuk dibuat dalam Bahasa Indonesia untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang No.24 Tahun 2009. Namun ditinjau dari akibat hukum perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban bahasa ini tidak masuk dalam kerangka akibat hukum dapat dibatalkan (syarat subyektif tidak dipenuhi) atau batal demi hukum (syarat obyektif tidak dipenuhi) dalam hukum perjanjian.
Kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak
Dengan adanya kewajiban untuk menggunakan Bahasa Indonesia, maka ada pembatasan asas kebebasan berkontrak oleh Undang-Undang. Sebelum Undang-Undang No.24 Tahun 2009 ini ditetapkan, para pihak bebas menggunakan bahasa apapun sepanjang hal tersebut disepakati oleh para pihak, kecuali Undang-Undang menentukan secara jelas bahasa yang wajib digunakan. Contoh : Pasal 43 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Jabatan Notaris, ayat (4) mengatur bahwa ”Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain, kemudian dalam ayat 5 mengatur bahwa ”Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.
Namun dengan berlakunya Undang-Undang No.24 Tahun 2009 ini, Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian. Perjanjian-perjanjian dengan pihak asing harus dibuat secara bilingual (dalam 2 bahasa) sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang No.24 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut :
”Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa pihak asing tersebut dan/atau Bahasa Inggris”.
Dengan adanya penggunaan lebih dari satu bahasa dalam perjanjian, muncul risiko perbedaan atau pertentangan mengenai arti bahasa dalam perjanjian atau perbedaan pengetikan, misalnya di kolom yang berBahasa Indonesia diketik angka 2, sedangkan di kolom yang berbahasa Inggris diketik 3, mana ketentuan yang akan berlaku, apakah ketentuan dalam Bahasa Indonesia atau ketentuan dalam Bahasa Inggris. Untuk memperoleh jawaban tersebut, terlebih dahulu penulis akan membahas soal asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak secara jelas dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada kata ”semua” yang mengandung arti bahwa seluruh perjanjian baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun kebebasan ini dibatasi oleh ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas kebebasan berkontrak ini meliputi :
  1. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
  2. kebebasan untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian;
  3. kebebasan untuk menentukan isi perjanjian;
  4. kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian;
  5. kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian;
  6. kebebasan untuk menentukan pilihan hukum dalam perjanjian.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 memang mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia di dalam Perjanjian, namun Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang harus berlaku dalam hal terjadi pertentangan atau perbedaan arti antara dua bahasa di dalam Perjanjian. Oleh karena itu, dalam hal ada perbedaan arti antara dua bahasa dalam perjanjian bilingual, bahasa yang berlaku adalah berdasarkan kesepakatan para pihak. Dalam hal ini para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan bahasa yang berlaku di dalam Perjanjian. Klausula yang lazim digunakan dalam perjanjian, misalnya dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap kata, frase, atau kalimat dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam perjanjian ini, maka yang digunakan dalam menafsirkan kata, frase, atau kalimat dimaksud adalah versi Bahasa Inggris.
Mariam Darus Badrulzaman, et.al : Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hlm.89 – 90
Wirjono Prodjodikoro : Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung : Sumur Bandung,  hlm.43